Kaki
ku melangkah lunglai menghampiri seorang pria yang tengah duduk memandangi
ponsel miliknya. Nampak gelisah, ku lihat keringat bercucuran melalui
pelipisnya.
“ Assalamu’alaikum”
“ Waalaikumsalam,
akhirnya kau sampai”
“Maafkan jika
kamu menunggu terlalu lama, tapi menurut jam ku, aku datang tepat waktu”
“Ya benar, hanya
saja aku ingin segera bertemu denganmu”
“Baiklah,
sekarang kita sudah bertemu, lalu?”
“aku ingin
mengatakan sesuatu”
Seketika
itu juga jantungku berdetak lebih kencang dari beberapa detik sebelum dia
mengatakannya. Aku sudah menduganya. Tak biasanya dia terlihat gugup bertemu
denganku selain dia ingin menyampaikan hal penting seperti hari itu.
“aku berhasil
mendapatkan beasiswa itu Humaira, Allah telah mengabulkan doa kita.”
“Alhamdulillah,
selamat Farabi” aku tersenyum bangga atas prestasi yang diraihnya, ku lihat dia
tersenyum. Namun, senyumnya berbeda. Bukan senyum yang dibiasa diberikan Farabi
padaku. Senyum itu terasa hambar.
Aku hanya mampu
terdiam.
“nampaknya kamu
begitu bahagia Hum….”
“Ya! Bagaimana
mungkin aku tidak bahagia ? Rusia adalah Negara hebat dan kau mampu
menaklukannya. Lalu, sebab apa yang membuatku tak bahagia?”
Aku berbohong.
“Aku akan
berangkat seminggu lagi. Itu artinya lusa adalah pertemuan terakhir ku denganmu
sebelum keberangkatan ku. Apa itu tak mampu menjadi sebab ketidakbahagiaanku,
Humaira?”
Detik
itu juga kerongkonganku tercekik. Perutku serasa melilit. Baru dua minggu lalu
kami saling mengungkapkan perasaan, setelah melalui empat tahun bungkam dan
saling memendam, setelah empat tahun menunggu.
Dua
minggu lalu komitmen untuk ber Ta’aruf kami buat. Dua minggu lalu, di tempat
ini pula air mata bahagia ku biarkan terjatuh. Namun sore ini angin berhembus menjatuhkan air mata
ku.
Ya
Allah maafkan aku karena telah membohongi hati ini dan berpura-pura bahagia.
Namun apalah daya, aku hanya tak ingin menghalangi cita-cita dan impian pria
yang sedang berdiri di depanku ini. Sesungguhnya kau tahu apa yang ada dalam
hati ini, sesungguhnya kau Dzat yang paling tahu bahwa kami, saling menyayangi.
“Fabi,” begitu
biasa ku panggil namanya.
“tahu kah kamu,
sejauh apapun jarak yang memisahkan kita, Allah selalu ada untuk mendekat dan
mendekap kita. Do’a. aku yakin kamu paham lebih dari yang ku tahu mengenai itu”
Perbincangan
sore itu berhenti karna suara adzan
berkumandang. Kami memutuskan menyudahi pertemuan itu dan pergi menuju masjid
University College London Islam Society, yang
letaknya tak jauh dari UCLU George Farha Café Bar tempat kami berbincang.
Waktu berlalu begitu cepat, siang ini
pesawat yang membawa Fabi akan segera berangkat. Ku antarkan dia menuju Bandar
Udara Internasional London Heathrow dengan perasaan tak menentu. Aku hanya
percaya bahwa Fabi merasakan hal yang sama.
Hari
itu di samping UCL Library , di bawah pohon oaks , Fabi mengutarakan
perasaanya. Ku ingat betul bagaimana dia gugup layaknya sedang menjalani sidang.
Dulu ketika hendak menyelesaikan studi nya di Universitas Gadjah Mada.
Kini kami tengah menjalani studi S2 di University College London, yang beberapa
menit lagi akan dipisahkan jarak, ruang, dan waktu.
“London-Rusia”
Fabi membuka pembicaraanya.
“Humaira,
sanggupkah aku menjaga hati ini?” suaranya bergetar menunjukan bahwa ada
keraguan dalam hatinya.
Aku
tak ingin memperkeruh keadaan ini, sebenarnya aku sama sekali tak ingin dia
pergi. Tapi aku tak mungkin menjadi penghalang nya untuk meraih mimpi. Alasan
kami tidak ingin mengikat diri dengan status pacaran adalah Allah. Alasan
lainnya adalah, aku yang tengah berusaha memperbaiki dan memantaskan diri
untuk-Nya, untuk kedua orangtua ku di Indonesia, dan untuk Fabi. Keluarga Farabi adalah keluarga yang cukup
disegani di kota kami. Ayahnya yang menjabat sebagai mufti di kota kami, tak mungkin menjadikan aku seorang Humaira yang
tak lebih baik dari Siti Fatimah menjadi istri dari putra tunggalnya itu.
Hari
itu masih ku ingat perkataan Fabi “Aku
pernah dipertemukan dengan gadis cantik luar biasa yang berasal dari keluarga
berada oleh ayahku. Aku pernah hampir dijodohkan dengan wanita kaya raya yang
tentu agamanya tak diragukan oleh ayahku. Tapi Allah memilihkan aku wanita yang
jauh lebih baik dari mereka semua, Allah memilihkanku untuk menyayangi mu,
Humaira”
“Fabi, ingatlah
ini…”
“Jika menuntut
ilmu itu kau lakukan di jalan Allah,Jika yang kau ingat selalu dalam hatimu itu
Allah, Jika kau mampu menjaga Iman dan
Islam mu itu, maka tak akan ada lagi keraguan bahwa kau akan mampu menjaga
hatimu”
Aku
tak mampu memandang mata pria itu. Aku tak sanggup menatap ekspresi apa yang
akan dia berikan ketika mendengar apa yang aku katakan.
“Humaira, ku
kembalikan hatimu untuk kau jaga. Aku tak akan menuntut mu untuk tetap menunggu
ku, juga menuntut hati itu hanya akan jadi milikku. Jika nanti ada pria yang
lebih baik dari aku meminta hati itu, berikan. Itu berarti Allah tidak ingin
melihat kita bersama.”
“Fabi…..”
“Jika aku
memaksamu menjaga hati itu karena ku, rasa sakit yang akan kau dapat. Namun
jika ku biarkan Allah yang menjaga hati itu, takdir memiliknya kembali bukanlah
sebuah mimpi, Humaira.”
Detik itu juga
air mata ku terjatuh. Tepat dengan terdengarnya pengumuman bahwa maskapai yang
akan membawanya akan segera berangkat.
“Jangan menangis
Humaira, pasrahkan semuanya dan biarkan Allah membahagiakan mu sesuai dengan
rencananya”
“Fabi,
berjanjilah satu hal. Jangan pernah kau gadaikan Iman mu semiskin apapun kamu.
Berjanjilah bahwa kau akan segera kembali dengan membawa Iman dan Islam”
“Aku berjanji
Humaira ku”
Fabi berbalik seraya mendorong kereta
yang penuh dengan tumpukan koper itu. Langkah kaki nya mantap menjauhi ku. Senyum
terakhir yang dia singgungkan tak dapat ku definisikan. Aku hanya berdoa kepada
Nya, bahwa kami akan dipertemukan dengan utuh. Hati ini milik Nya kembali, begitu pula hati Farabi.
#Cerpen
#Indonesia